Jumat, 28 November 2008

TUNDUK TERHADAP DIRI SENDIRI

(sebuah refleksi diri yang muncul ketika jiwa terkekang harapan)

Pada hari yang tak jelas itu kapan tetapi jelas ada di dalam kamar, berawal dari membuka catatan-catatan lama yang hampir tak akan tersentuh lagi, saya menyempatkan diri untuk membaca-membaca sekilas hasil-hasil dari mencatatkan diri sendiri pada tahun yang telah terlalui. Dari korek-korekan itu dan ketika itu tepat membuka lembaran hasil catatan di dalam kamar tidur waktu tengah malam pada akhir tahun 2001, ada beberapa penggalan dari catatan tersebut yang menarik perhatian hingga memunculkan tulisan ini. Penggalan tersebut mengatakan :

Ada baiknya aku diam,

tapi tampaknya tak enak bila ku teruskan

Ada baiknya aku tenang,

tapi tampaknya tak baik bila kusembunyikan

Ada baiknya aku lupakan,

tapi tampaknya sakit bila kupaksakan

Ada baiknya aku bencikan,

tapi tak baik bila aku lakukan

Ada baiknya aku turuti,

tapi tak baik bila kucoba

Ada baiknya aku bohongi,

tapi tampaknya tak siap bila dibalas

Ada baiknya aku tertawakan,

tapi tak “ya” bila ku sembunyikan

Ada baiknya aku menunggu,

tapi tampaknya tak sanggup kunanti

Ada baiknya aku jalani,

tapi tak kuat tuk kutahan

Ada baiknya aku pikirkan,

tapi tampakknya tak ingin bila melelahkan

Ada baiknya aku simpulkan,

tapi tampaknya harus kurahasiakan

. . .

Dalam keadaan-keadaan tertentu, terkadang bahkan tidak pernah sama sekali tiap-tiap kita sebagai manusia untuk menyadari dan sadar bahwa sebenarnya dalam perjalanan kehidupan ini dari sejak baru lahir sampai dengan menyadari diri sendiri, sebenarnya ada banyak hal yang belum dapat terjawab pertanyaan-pertanyaan tentang diri kita sendiri (siapa saya?........) oleh diri kita sendiri. Sifat dari Ke-terkadang-an dan Ke-tidakpernah-an ini sering kali berlaku seiring berlakunya proses-proses yang disenangi dalam pengalaman hidup, baik diri sebagai diri sendiri maupun diri sebagai orang lain (milik orang lain). Tak pernah tidak, diri kita ini akan lebih mudah untuk mengetahui dan mampu menjawab tentang siapa diri selain diri kita pada saat dan waktu tertentu, sementara tentang siapa saya terasa sangat sulit untuk diketahui dan dijelaskan meski hanya sebatas sebagai bahan kajian tentang diri sendiri saja. Katakan saja ada beberapa pertanyaan-pertanyaan datang kepada diri kita, seperti: Bagaimana kamu bernafas dalam hidup ini?; Berapa lipatan lengan bajumu saat memakai yang baju berlengan panjang?; Bagaimana kamu mengenali semua anggota tubuhmu? dan pertanyaan-pertanyaan lain yang masih tersimpan dan belum bisa diri kita menjawab.

Terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut, bagi diri kita tentu sangat tidak ada artinya, tidak berguna terlebih jika didengar sekilas saja. Bahkan mungkin saja diri ini akan dianggap hidup dan berjalan dengan otak dibawah normal. Why not? Karena, apabila diperhatikan hal-hal tersebut tidak sama sekali memiliki kontribusi untuk diri kita ini menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Sehingga diri kita berpikir, apakah bisa membantu mendapatkan uang lebih banyak?, dapat menjadi perkasa dan berkuasa?, mampu menampilkan yang terbaik?, atau mungkin dapat mengurangi “kebiasaan berhutang” yang selama ini menjadi budaya yang dibudidayakan?. Jawabannya tentu beragam karena adanya ketergantungan dari sosok yang disebut “diri sendiri” tersebut. Sehingga diri kita sendiri, dalam keadaan tertentu takut untuk menampilkan apa yang muncul dari hasil pikiran sendiri. Tetapi lebih banyak memakai hal-hal yang digunakan orang lain yang pada saat itu menarik, terkenal, berhasil atau layak diikuti meski tidak ada jaminan akan berlaku kebenarannya ketika diri kita sendiri ini juga mengikutinya.

Terdapat 2 (dua) hal yang mempengaruhi diri kita ini menjadi tidak mengenal diri sendiri atau menjadi tidak tunduk terhadap diri kita sendiri. Pertama, budaya yang dari masa kemasa bahkan setiap detik terus mengalami perubahan dan perkembangan baik berkembang ke arah yang lebih baik maupun berkembang ke arah lebih baik tetapi melalui jalan yang tidak layak untuk dilakukan. Setiap perkembangan selalu diterima dengan mudah tanpa terlebih dahulu melakukan suatu kajian tentang bagaimana dan mengapa perkembangan itu harus diterima. Sering kali diri kita ini terjebak dengan bentuk luar yang terlihat menjanjikan suatu perkembangan moral yang tidak dibarengi dengan norma-norma dan estetika yang pada gilirannya nanti selalu dalam posisi mengikuti saja. Kedua, berkurangnya pemakaian kemampuan-kemampuan yang telah ada pada diri kita sendiri. Kemampuan disini tak hanya sebatas kemampuan dalam satu hal, namun kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan dalam segala hal baik itu kemampuan melihat, menilai, menerima, menganalisa, menyampaikan sampai pada kemampuan membuat kesimpulan baru atau bahkan kemampuan dalam menolak sesuatu yang tidak sesuai. Selalu ada kecendrungan menggunakan hal-hal yang sifatnya praktis yang memang tidak membutuhkan pemikiran panjang untuk dilakukan ataupun dinilai baik buruknya, sehingga tentang orang lain tidak pernah mendapatkan bagian untuk ikut dipikirkan ketika suatu tindakan akan terjadi akibat dari perlakukan diri kita sendiri. Kalaupun orang lain mendapatkan bagian, kemampuan-kamampuan yang ada pada diri kita sendiri tersebut sering kali terabaikan dengan mudah bahkan terhapuskan.

Dan sekarang apakah diri kita ini akan tetap mengabaikan dirinya sendiri ataukah membiarkannya dalam keterpurukan yang berkelanjutan. Karena jika dibiarkan seperti itu, pada suatu waktu tertentu akan menemukan titik terang yang membingungkan dan pada saat itulah biasanya pengambilan kesimpulan yang tidak tepat sering kali terjadi tanpa proses panjang. Yang menjadi pertanyaan besarnya adalah “pernahkah diri kita ini terbiasa dalam berpikir tentang bagaimana diri kita berpikir terhadap sesuatu?